Wajah-wajah di Akhir Episode*
Kehidupan dapat diibaratkan sebuah rol film yang memiliki awal dan akhir. Diri kita adalah sutradaranya. Sutradara nantinya menentukan bagaimana akhir sebuah film: bahagia atau duka.
Hal ini bila dianalogikan dalam kehidupan seorang mahasiswa, sutradaranya adalah mahasiswa itu sendiri. Sang produser adalah orangtua mereka. Bagi mahasiswa yang telah bekerja dan membiayai kuliahnya sendiri, mereka merangkap sebagai produser. Bahkan sutradara ini menjadi aktornya sendiri.
Untuk mendukung kegiatan mahasiswa (sutradara sekaligus aktor—dan produser) maka dibutuhkan set tempat maupun fasilitas, yaitu kampus. Setelah biaya ada, maka biaya itu digunakan untuk menyewa tempat dan fasilitas yang diserahkan kepada biro yang diberi wewenang atas pembayaran tersebut.
Setelah itu, tentunya, sang mahasiswa menginginkan segala skenarionya berjalan lancar. Dengan adanya fasilitas kegiatan mahasiswa berupa UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan HIMA (Himpunan Mahasiswa) membuat mahasiswa memiliki wadah untuk menyalurkan inspirasinya. Walau begitu, banyak dari mahasiswa yang mengeluhkan bahwa kampus tidak memberikan keleluasaan kepada mahasiswanya untuk mengadakan kegiatan di dalam kampus dan memanfaatkan fasilitas kampus yang ada.
Bagaimana ini bisa terjadi? Sang sutradara dan produser telah membayarkan biaya untuk sewa set dan tempat namun pihak pengelola seperti enggan atau sayang-sayang jika set dan tempat yang telah disewa itu dipakai si penyewa.
Jelas hal ini membuat banyak mahasiswa merasa lebih baik cepat-cepat keluar (lulus) dari kampus dengan berbagai cara, seperti: membuat prasasti di meja dan tukar-menukar jawaban soal kala ujian, sampai nyontek dan menjiplak skripsi mahasiswa terdahulu.
Walaupun biaya yang ia keluarkan tidak dapat merasakan fasilitas yang seharusnya ia terima selama ia masih menjadi mahasiswa, apapun dilakukan mahasiswa jika terpepet. Seperti inikah yang kita inginkan untuk sebuah generasi yang akan membangun bangsa ini?
Bahkan ada mahasiswa yang sangat tidak tahan dengan keadaan ini langsung angkat kaki dari kampus dan meneruskan studinya ke kampus lain. Hal ini pernah diungkapkan DK, seorang mahasiswa yang tak tahan dengan kebijakan kampus.
Apa hal ini hanya terjadi pada mahasiswa? Tidak!
Hal ini pula yang juga terjadi pada dosen-dosen. Kurun waktu sekitar enam tahun ke belakang banyak dosen yang hengkang dari kampus karena ketika menjadi dosen tetap di kampus, waktu luang setelah mengajar tidak diperkenankan untuk dipergunakan berkarya di tempat lain walaupun ketika berkarya di tempat lain ia tidak mengganggu aktivitas mengajar dan jadwalnya untuk membimbing mahasiswa serta kegiatan lainnya seperti: mengoreksi soal, melaporkan nilai-nilai mahasiswa ke biro akademik dan masih banyak lagi.
Mereka kini yang telah hengkang, menjadi dosen ternama di kampus besar ternama. Tidak perlu disebutkan siapa mereka dan di kampus mana mereka kini berada, toh pihak kampus, mahasiswa angkatan lama dan para dosen yang telah lama mengajar tahu dengan sendirinya.
Hal ini sangat ironis. Bahwa dosen seharusnya diberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan dirinya sebagai seorang pengajar bahkan sebagai pendidik. Karena wawasan luas sang dosen adalah gengsi tersendiri bagi dirinya. Bayangkan jika dosen tidak dapat menjawab (baca: mati kutu) pertanyaan mahasiswanya, tentu ada pertanyaan besar dalam diri mahasiswa, “Setidaknya Pak Dosen bisa kasih kita keterangan sedikit, ya, jangan hanya diam (manyun).” Minus nilai dosen di mata mahasiswa maka minus pula nilai kampus tersebut di masyarakat.
Hal serupa juga seharusnya diberikan ke mahasiswa. Kampus sewajarnya memberikan fasilitas kepada mahasiswanya untuk terus tumbuh dan berkembang demi menghadapi tantangan setelah lulus nanti. Perlu dipertegas bahwa kampus adalah zona praktek tahap awal bagi mahasiswanya!
Kampus juga harus menjalin kerjasama dengan pihak luar yang berhubungan erat dengan studi yang diambil oleh mahasiswanya. Berkenaan dengan ilmu jurnalistik, sewajarnya kampus menjalin hubungan erat dengan media-media, bukan mengandalkan mahasiswa lulusannya yang bekerja di media itu—memangnya media itu milik mahasiswa lulusan yang notabene tidak memiliki wewenang atas kebijakan media tempat ia bekerja. Hal ini juga dilakukan atas jurusan-jurusan lain yang terdapat di kampus demi menciptakan jaringan yang luas antara pihak kampus-mahasiswa-praktisi/perusahaan.
Ada apa dengan kampus kita? Selalu itu yang ada dalam benak kita. Bahkan ada mahasiswa yang saking sakit hatinya berkata, “Bagaimana kalau kita bikin kampus sepi kegiatan mahasiswa dan kita laporkan hal tersebut ke Dikti? Biar kampus ini ketika ajaran baru, sedikit calon mahasiswa yang mendaftar dan mendapatkan sorotan tajam Dikti.”
Perkataan mahasiswa itu mungkin hanya candaan ketika ia penat melihat kondisi kampusnya saat sedang berkumpul dengan rekan mahasiswa yang lain. Terlepas perkataan itu menjadi kenyataan atau tidak di kampus kita sekarang ini. Jika ya, maka kebijakan kampus harus dirubah! Kampus harus belajar bahwa kebijakan yang diputuskan satu pihak hanya jadi jurang pemisah antar civitas kampus. Bila tidak, bersyukurlah bahwa kampus masih dipercaya para orangtua untuk tempat menimba ilmu anak-anaknya, walaupun kemungkinan besar tak bakal bertahan lama.
Tentunya mahasiswa dan kampus seharusnya memiliki hubungan yang harmonis dan interdependensi sehingga mahasiswa dapat menghidupkan kampus dan kampus idealnya memberikan fasilitas yang menunjang mahasiswa demi kemajuan kedua belah pihak. Jika ini terjadi kampus akan mendapat faedah dari para lulusannya, dengan promosi (gratis) ke adik-adik dibawahnya bahwa, “Di kampus kakak, fasilitasnya oke, lho dan rugi kalo kamu nggak masuk kampus kakak.”
Jadi, siapkah kampus menjalankan hal yang seperti ini dan memberikan ruang gerak yang luas pada dosen dan mahasiswanya? Kita tunggu saja.
Bila skenario berjalan dengan lancar, sutradara tak perlu membuat skenario wajah-wajah tegang di akhir episode, justru malah memasang wajah-wajah berseri-seri penuh senyum dan keceriaan. Tul, nggak?!(b!)
* Judul awal Hikayat Kampus Tercinta
Catatan:
Telah diedit di beberapa bagian.
Hal ini bila dianalogikan dalam kehidupan seorang mahasiswa, sutradaranya adalah mahasiswa itu sendiri. Sang produser adalah orangtua mereka. Bagi mahasiswa yang telah bekerja dan membiayai kuliahnya sendiri, mereka merangkap sebagai produser. Bahkan sutradara ini menjadi aktornya sendiri.
Untuk mendukung kegiatan mahasiswa (sutradara sekaligus aktor—dan produser) maka dibutuhkan set tempat maupun fasilitas, yaitu kampus. Setelah biaya ada, maka biaya itu digunakan untuk menyewa tempat dan fasilitas yang diserahkan kepada biro yang diberi wewenang atas pembayaran tersebut.
Setelah itu, tentunya, sang mahasiswa menginginkan segala skenarionya berjalan lancar. Dengan adanya fasilitas kegiatan mahasiswa berupa UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan HIMA (Himpunan Mahasiswa) membuat mahasiswa memiliki wadah untuk menyalurkan inspirasinya. Walau begitu, banyak dari mahasiswa yang mengeluhkan bahwa kampus tidak memberikan keleluasaan kepada mahasiswanya untuk mengadakan kegiatan di dalam kampus dan memanfaatkan fasilitas kampus yang ada.
Bagaimana ini bisa terjadi? Sang sutradara dan produser telah membayarkan biaya untuk sewa set dan tempat namun pihak pengelola seperti enggan atau sayang-sayang jika set dan tempat yang telah disewa itu dipakai si penyewa.
Jelas hal ini membuat banyak mahasiswa merasa lebih baik cepat-cepat keluar (lulus) dari kampus dengan berbagai cara, seperti: membuat prasasti di meja dan tukar-menukar jawaban soal kala ujian, sampai nyontek dan menjiplak skripsi mahasiswa terdahulu.
Walaupun biaya yang ia keluarkan tidak dapat merasakan fasilitas yang seharusnya ia terima selama ia masih menjadi mahasiswa, apapun dilakukan mahasiswa jika terpepet. Seperti inikah yang kita inginkan untuk sebuah generasi yang akan membangun bangsa ini?
Bahkan ada mahasiswa yang sangat tidak tahan dengan keadaan ini langsung angkat kaki dari kampus dan meneruskan studinya ke kampus lain. Hal ini pernah diungkapkan DK, seorang mahasiswa yang tak tahan dengan kebijakan kampus.
Apa hal ini hanya terjadi pada mahasiswa? Tidak!
Hal ini pula yang juga terjadi pada dosen-dosen. Kurun waktu sekitar enam tahun ke belakang banyak dosen yang hengkang dari kampus karena ketika menjadi dosen tetap di kampus, waktu luang setelah mengajar tidak diperkenankan untuk dipergunakan berkarya di tempat lain walaupun ketika berkarya di tempat lain ia tidak mengganggu aktivitas mengajar dan jadwalnya untuk membimbing mahasiswa serta kegiatan lainnya seperti: mengoreksi soal, melaporkan nilai-nilai mahasiswa ke biro akademik dan masih banyak lagi.
Mereka kini yang telah hengkang, menjadi dosen ternama di kampus besar ternama. Tidak perlu disebutkan siapa mereka dan di kampus mana mereka kini berada, toh pihak kampus, mahasiswa angkatan lama dan para dosen yang telah lama mengajar tahu dengan sendirinya.
Hal ini sangat ironis. Bahwa dosen seharusnya diberikan kesempatan yang luas untuk mengembangkan dirinya sebagai seorang pengajar bahkan sebagai pendidik. Karena wawasan luas sang dosen adalah gengsi tersendiri bagi dirinya. Bayangkan jika dosen tidak dapat menjawab (baca: mati kutu) pertanyaan mahasiswanya, tentu ada pertanyaan besar dalam diri mahasiswa, “Setidaknya Pak Dosen bisa kasih kita keterangan sedikit, ya, jangan hanya diam (manyun).” Minus nilai dosen di mata mahasiswa maka minus pula nilai kampus tersebut di masyarakat.
Hal serupa juga seharusnya diberikan ke mahasiswa. Kampus sewajarnya memberikan fasilitas kepada mahasiswanya untuk terus tumbuh dan berkembang demi menghadapi tantangan setelah lulus nanti. Perlu dipertegas bahwa kampus adalah zona praktek tahap awal bagi mahasiswanya!
Kampus juga harus menjalin kerjasama dengan pihak luar yang berhubungan erat dengan studi yang diambil oleh mahasiswanya. Berkenaan dengan ilmu jurnalistik, sewajarnya kampus menjalin hubungan erat dengan media-media, bukan mengandalkan mahasiswa lulusannya yang bekerja di media itu—memangnya media itu milik mahasiswa lulusan yang notabene tidak memiliki wewenang atas kebijakan media tempat ia bekerja. Hal ini juga dilakukan atas jurusan-jurusan lain yang terdapat di kampus demi menciptakan jaringan yang luas antara pihak kampus-mahasiswa-praktisi/perusahaan.
Ada apa dengan kampus kita? Selalu itu yang ada dalam benak kita. Bahkan ada mahasiswa yang saking sakit hatinya berkata, “Bagaimana kalau kita bikin kampus sepi kegiatan mahasiswa dan kita laporkan hal tersebut ke Dikti? Biar kampus ini ketika ajaran baru, sedikit calon mahasiswa yang mendaftar dan mendapatkan sorotan tajam Dikti.”
Perkataan mahasiswa itu mungkin hanya candaan ketika ia penat melihat kondisi kampusnya saat sedang berkumpul dengan rekan mahasiswa yang lain. Terlepas perkataan itu menjadi kenyataan atau tidak di kampus kita sekarang ini. Jika ya, maka kebijakan kampus harus dirubah! Kampus harus belajar bahwa kebijakan yang diputuskan satu pihak hanya jadi jurang pemisah antar civitas kampus. Bila tidak, bersyukurlah bahwa kampus masih dipercaya para orangtua untuk tempat menimba ilmu anak-anaknya, walaupun kemungkinan besar tak bakal bertahan lama.
Tentunya mahasiswa dan kampus seharusnya memiliki hubungan yang harmonis dan interdependensi sehingga mahasiswa dapat menghidupkan kampus dan kampus idealnya memberikan fasilitas yang menunjang mahasiswa demi kemajuan kedua belah pihak. Jika ini terjadi kampus akan mendapat faedah dari para lulusannya, dengan promosi (gratis) ke adik-adik dibawahnya bahwa, “Di kampus kakak, fasilitasnya oke, lho dan rugi kalo kamu nggak masuk kampus kakak.”
Jadi, siapkah kampus menjalankan hal yang seperti ini dan memberikan ruang gerak yang luas pada dosen dan mahasiswanya? Kita tunggu saja.
Bila skenario berjalan dengan lancar, sutradara tak perlu membuat skenario wajah-wajah tegang di akhir episode, justru malah memasang wajah-wajah berseri-seri penuh senyum dan keceriaan. Tul, nggak?!(b!)
* Judul awal Hikayat Kampus Tercinta
Catatan:
Telah diedit di beberapa bagian.
Komentar