Tayangan Semusim Kotak Ajaib Masih Wajah Lama*
Bahar D. Dirgantara**
Bulan penuh berkah disambut dengan penuh antusias oleh umat Islam, begitu pula umat beragama lainnya, karena mendapatkan tontonan televisi yang berbeda dan memberikan kesan dibandingkan dengan tontonan TV biasanya—tontonan di luar bulan Ramadhan—walaupun hanya tontonan semusim.
Tayangan semusim yang saya maksudkan dalam tulisan ini hanya terbatas pada tayangan yang diudarakan pada bulan Ramadhan. Seperti kita ketahui, pada bulan suci umat Islam ini, entah karena apa, tayangan TV terlihat sedikit santun dan agak sopan. Saya katakan sedikit santun karena bahasa yang dikemas tidak seterbuka (sebebas) pada tayangan reguler. Agak sopan, karena pakaian yang dipakai oleh para pemerannya tidak seminim pada tayangan umumnya. Walaupun aurat masih terlihat di mana-mana, apalagi menyangkut etika Islam bahwa bagian wanita yang dapat dilihat oleh bukan muhrimnya hanya pada wajah dan tangan sebatas sampai pergelangan, itupun batasan yang ada di Indonesia pada umumnya.
Awal mula maraknya tayangan semusim ini ditandai dengan bermunculannya TV swasta di Indonesia pertengahan 1990-an. Mengapa baru pertengahan 1990-an? Sebab RCTI (1988) mengawali kemunculannya dengan mewajibkan pemirsanya menggunakan dekoder sebagai alat penerima (receiver) dan SCTV untuk jangkauan Surabaya (1989). Sehingga kala itu hanya kalangan terbatas yang menikmati tayangan dari TV swasta, pun kala itu sinetron belum menjamur seperti sekarang.
Pilihan pemirsa dalam menikmati santapan elektronik kini tidak lagi hanya pada 2 (dua) stasiun TV tersebut. Banyaknya stasiun TV membuat pilihan kanal lebih beragam. Tapi apakah hal yang beragam ini berbanding lurus dengan tema acara ataupun yang dipilih stasiun TV.
Sebab, kita tahu, kebiasaan stasiun TV di Indonesia selalu mengekor pada tayangan yang sukses di stasiun TV lain. Ini membuat beberapa kalangan jemu pada tayangan yang tidak variatif ini dan hal itu pula yang diulangi pada tayangan semusim di Ramadhan ini.
Lihat saja tayangan religius yang dibungkus dengan mistik, saat ini diulangi lagi di bulan Ramadhan. Hal ini terjadi pada Rahasia Ilahi (spesial Ramadhan)(TPI) dan Insyaf (Ramadhan), salah satu contohnya.
Apakah para kreatif di in house production dan production house sudah kehilangan ide dalam mengemas dan merancang program. Atau malahan mereka hanya tunduk pada produser program TV yang mengagungkan sukses sebuah program kemudian melakukan “duplikasi” atas program tersebut, entah tayangan itu nantinya bagus atau tidak.
Bahkan Deddy Mizwar (dalam tulisan Dahono Fitrianto, Kompas, 9/10/2005) mengatakan, “Sekarang ini kan banyak sinetron yang mengaku religius, tetapi sebenarnya hanya kelanjutan dari sinetrom-sinetron bertema mistik yang pernah populer sebelumnya.”
Deddy pun mencoba mereproduksi kembali film Kiamat Sudah Dekat menjadi sinetron (tayangan) alternatif untuk melawan parasinetron yang mengaku religius, namun dibungkus dengan mistik.
Perlu kita amati, tayangan religius dengan mistik sebagai bumbunya, sering terlihat over dan tidak masuk akal. Apa karena dengan over dan makin tidak masuk akal itu yang dibutuhkan oleh pemirsa di era seperti ini, era dimana hal yang riil lebih mendapat tempat. Atau jangan-jangan masyarakat kita masih menganut faham mistisisme (istilah saya), dimana segala sesuatu dapat diperoleh dengan cara-cara tidak wajar (gaib).
Tayangan semusim di bulan Ramadhan kali ini memang tidak ada yang berubah dibandingkan dengan tayangan semusim serupa di tahun-tahun yang lalu. Seperti tulisan Chris Pudjiastuti (Kompas, 2/10) yang menyebutkan, dalam lima tahun terakhir, tiap kali bulan Ramadhan tiba, stasiun-stasiun TV seakan berlomba membuat acara spesial. Padahal acara-acara tersebut, jika dicermati merupakan pengulangan dari acara-acara tahun sebelumnya.
Format program sebelum waktu berbuka semuanya dikemas dalam konteks kultum (kuliah tujuh menit), walau dengan nama yang berbeda-beda. Tidak ada perubahan kreatif dalam hal penayangannya. Plot program menemani pemirsa saat sahur pun tidak jauh berbeda. Dikemas dalam guyonan dan menebar hadiah kepada pemirsa, juga mencoba sisi lain dengan menampilkan orang tak berpunya sebagai fokus acara. Tampilan sisi lain ini sama saja dengan program-program serupa (terlihat tak sama) Rejeki Nomplok (TV7), Tolooong!! (SCTV) dan banyak lagi program sejenisnya yang ditayangkan pada siaran rutin sebelumnya. Bahkan kemasan dengan memberi santunan melalui dukungan SMS (oleh pemirsa) dilakukan oleh Lativi dalam tayangan Grebeg Sahur Bagi-Bagi.
Untuk sinetron, tayangan-tayangan yang disuguhkan adalah kelanjutan dari sukses tayangan sebelumnya. Sebut saja: Hikmah 2 (RCTI) merupakan sekuel dari sinetron sebelumnya dengan judul sama; Anak Cucu Adam (RCTI) mencoba melanjutkan (sejenis sekuel) sinetron sebelumnya berjudul Adam dan Hawa (SCTV) dengan menampilkan bintang yang sama, Marshanda; sedangkan Kiamat Sudah Dekat (SCTV) adalah pengulangan dari film dengan judul yang sama, dengan perubahan skenario disana-sini.
Lalu, bagaimana kita menyikapi perkembangan pertelevisian kita dewasa ini? Tontonlah acara yang menurut kita tidak memberikan dampak buruk bagi perkembangan anak-anak kita di masa depan. Dampingi mereka dan berikan penjelasan sesuai dengan bahasa mereka, jika mereka (anak-anak) meniru adegan berbahaya dan tidak santun dalam televisi, maka dapat berakibat buruk pada diri mereka.
Selagi pertelevisian kita hanya memperebutkan kue iklan, itu tidak masalah. Jangan karena kue iklan, mereka malah menambah muak kita dengan tayangan yang seronok dan vulgar di bulan penuh berkah ini. Semoga saja personil pertelevisian kita masih memiliki hati nurani sebagai pagarnya.
* Ditulis saat menyambut Ramadhan 1426 H/2005 M
** Penulis anggota Forum Kajian Radio, Televisi dan Film (FKRTF) Jakarta.
Bulan penuh berkah disambut dengan penuh antusias oleh umat Islam, begitu pula umat beragama lainnya, karena mendapatkan tontonan televisi yang berbeda dan memberikan kesan dibandingkan dengan tontonan TV biasanya—tontonan di luar bulan Ramadhan—walaupun hanya tontonan semusim.
Tayangan semusim yang saya maksudkan dalam tulisan ini hanya terbatas pada tayangan yang diudarakan pada bulan Ramadhan. Seperti kita ketahui, pada bulan suci umat Islam ini, entah karena apa, tayangan TV terlihat sedikit santun dan agak sopan. Saya katakan sedikit santun karena bahasa yang dikemas tidak seterbuka (sebebas) pada tayangan reguler. Agak sopan, karena pakaian yang dipakai oleh para pemerannya tidak seminim pada tayangan umumnya. Walaupun aurat masih terlihat di mana-mana, apalagi menyangkut etika Islam bahwa bagian wanita yang dapat dilihat oleh bukan muhrimnya hanya pada wajah dan tangan sebatas sampai pergelangan, itupun batasan yang ada di Indonesia pada umumnya.
Awal mula maraknya tayangan semusim ini ditandai dengan bermunculannya TV swasta di Indonesia pertengahan 1990-an. Mengapa baru pertengahan 1990-an? Sebab RCTI (1988) mengawali kemunculannya dengan mewajibkan pemirsanya menggunakan dekoder sebagai alat penerima (receiver) dan SCTV untuk jangkauan Surabaya (1989). Sehingga kala itu hanya kalangan terbatas yang menikmati tayangan dari TV swasta, pun kala itu sinetron belum menjamur seperti sekarang.
Pilihan pemirsa dalam menikmati santapan elektronik kini tidak lagi hanya pada 2 (dua) stasiun TV tersebut. Banyaknya stasiun TV membuat pilihan kanal lebih beragam. Tapi apakah hal yang beragam ini berbanding lurus dengan tema acara ataupun yang dipilih stasiun TV.
Sebab, kita tahu, kebiasaan stasiun TV di Indonesia selalu mengekor pada tayangan yang sukses di stasiun TV lain. Ini membuat beberapa kalangan jemu pada tayangan yang tidak variatif ini dan hal itu pula yang diulangi pada tayangan semusim di Ramadhan ini.
Lihat saja tayangan religius yang dibungkus dengan mistik, saat ini diulangi lagi di bulan Ramadhan. Hal ini terjadi pada Rahasia Ilahi (spesial Ramadhan)(TPI) dan Insyaf (Ramadhan), salah satu contohnya.
Apakah para kreatif di in house production dan production house sudah kehilangan ide dalam mengemas dan merancang program. Atau malahan mereka hanya tunduk pada produser program TV yang mengagungkan sukses sebuah program kemudian melakukan “duplikasi” atas program tersebut, entah tayangan itu nantinya bagus atau tidak.
Bahkan Deddy Mizwar (dalam tulisan Dahono Fitrianto, Kompas, 9/10/2005) mengatakan, “Sekarang ini kan banyak sinetron yang mengaku religius, tetapi sebenarnya hanya kelanjutan dari sinetrom-sinetron bertema mistik yang pernah populer sebelumnya.”
Deddy pun mencoba mereproduksi kembali film Kiamat Sudah Dekat menjadi sinetron (tayangan) alternatif untuk melawan parasinetron yang mengaku religius, namun dibungkus dengan mistik.
Perlu kita amati, tayangan religius dengan mistik sebagai bumbunya, sering terlihat over dan tidak masuk akal. Apa karena dengan over dan makin tidak masuk akal itu yang dibutuhkan oleh pemirsa di era seperti ini, era dimana hal yang riil lebih mendapat tempat. Atau jangan-jangan masyarakat kita masih menganut faham mistisisme (istilah saya), dimana segala sesuatu dapat diperoleh dengan cara-cara tidak wajar (gaib).
Tayangan semusim di bulan Ramadhan kali ini memang tidak ada yang berubah dibandingkan dengan tayangan semusim serupa di tahun-tahun yang lalu. Seperti tulisan Chris Pudjiastuti (Kompas, 2/10) yang menyebutkan, dalam lima tahun terakhir, tiap kali bulan Ramadhan tiba, stasiun-stasiun TV seakan berlomba membuat acara spesial. Padahal acara-acara tersebut, jika dicermati merupakan pengulangan dari acara-acara tahun sebelumnya.
Format program sebelum waktu berbuka semuanya dikemas dalam konteks kultum (kuliah tujuh menit), walau dengan nama yang berbeda-beda. Tidak ada perubahan kreatif dalam hal penayangannya. Plot program menemani pemirsa saat sahur pun tidak jauh berbeda. Dikemas dalam guyonan dan menebar hadiah kepada pemirsa, juga mencoba sisi lain dengan menampilkan orang tak berpunya sebagai fokus acara. Tampilan sisi lain ini sama saja dengan program-program serupa (terlihat tak sama) Rejeki Nomplok (TV7), Tolooong!! (SCTV) dan banyak lagi program sejenisnya yang ditayangkan pada siaran rutin sebelumnya. Bahkan kemasan dengan memberi santunan melalui dukungan SMS (oleh pemirsa) dilakukan oleh Lativi dalam tayangan Grebeg Sahur Bagi-Bagi.
Untuk sinetron, tayangan-tayangan yang disuguhkan adalah kelanjutan dari sukses tayangan sebelumnya. Sebut saja: Hikmah 2 (RCTI) merupakan sekuel dari sinetron sebelumnya dengan judul sama; Anak Cucu Adam (RCTI) mencoba melanjutkan (sejenis sekuel) sinetron sebelumnya berjudul Adam dan Hawa (SCTV) dengan menampilkan bintang yang sama, Marshanda; sedangkan Kiamat Sudah Dekat (SCTV) adalah pengulangan dari film dengan judul yang sama, dengan perubahan skenario disana-sini.
Lalu, bagaimana kita menyikapi perkembangan pertelevisian kita dewasa ini? Tontonlah acara yang menurut kita tidak memberikan dampak buruk bagi perkembangan anak-anak kita di masa depan. Dampingi mereka dan berikan penjelasan sesuai dengan bahasa mereka, jika mereka (anak-anak) meniru adegan berbahaya dan tidak santun dalam televisi, maka dapat berakibat buruk pada diri mereka.
Selagi pertelevisian kita hanya memperebutkan kue iklan, itu tidak masalah. Jangan karena kue iklan, mereka malah menambah muak kita dengan tayangan yang seronok dan vulgar di bulan penuh berkah ini. Semoga saja personil pertelevisian kita masih memiliki hati nurani sebagai pagarnya.
* Ditulis saat menyambut Ramadhan 1426 H/2005 M
** Penulis anggota Forum Kajian Radio, Televisi dan Film (FKRTF) Jakarta.
Komentar