Cuap-cuap, Cerita Kala Senja kian Menua*
Bahar D. Dirgantara
Baru saja tiba, setelah pergi. Telepon berdering-dering. Berdiri di depan pintu kamar. Biarkan saja. Sampai yang menelepon itu kelelahan. Tapi rupanya orang di seberang sana tak berhenti jua. Terus berusaha tanpa henti. Tetap saja aku biarkan telepon itu berdering. Terus berdering, biarkan saja. Aneh, tetap saja berdering.
Akhirnya, aku angkat saja telepon itu. Terdengar suara klik. Sialan! Eh, berdering lagi. Cuek. Aku buka pintu kamar. Aku kunci dan kunyalakan musik keras-keras. Iron Maiden, judu Number of The Beast. Lagu yang terinspirasi dari Bibel? Mungkin, Bruce Dickinson sang vokalis, saat mencipta lagu itu suka membuka-buka kitab itu. Ah, biar, itu bukan urusanku. Kring...!
Di langit kamarku aku lihat putih. Tidur-tiduran. Aku jadi teringat sebuah cerita masa kecil. Cerita tentang bidadari, yang kata orang: berwarna putih, punya sayap, sifatnya baik. Megingat itu, aku jadi tertawa geli. Entah manusia goblok mana yang mengarang kisah itu. Jangankan melihat bidadari, setan saja belum pernah lihat. Setan? Jangan sampailah aku melihatnya. Lebih baik bertemu bidadari yang, katanya, cantik jelita.
Lelah juga mengurung di kamar. Aku keluar kamar. Gila! Telepon terus berdering.
“Ya, halo?” Aku angkat saja.
“Halo juga, di sini siapa?” jawab di seberang sana.
Nah, kok tanya diri sendiri. Wah, ini pasti orang stres atau sekedar iseng. Sinting. Tapi tak apalah, mungkin dia perlu hiburan. Itung-itung amal.
“Di sana jin yang pernah buang anak. Kalau di sini bintang film layar lebar yang main di film Selalu Melirik ke Rumah Tetangga,” jawabku sekenanya.
“Kok, tahu kalau di sini jin?”
“Lha, orang di sini paranormal!”
“Tadi katanya bintang film.”
“Merangkap, gitu.”
“Oooo....”
Aku membayangkan mulut orang, eh jin, atau jenis makhluk apalah itu mulutnya bulat sedang ber-o. Semoga saja tak dimasuki lalat. Keselek.
“Situ benean jin apa jon?” heranku.
“Terserahlah, mau disebut apa. Jin boleh, jon oke. Apa jun-jan, mungkin jen. Bisa juga iblis.” Ngawur.
“Wah, kayak lagu Iron Maiden!” seruku.
“Number of The Beast.”
“Situ tahu. Sini lagi nyetel.”
“Lha wong itu lagu kebangsaan ngeband, kok!” jelas makhluk tak jelas itu.
“Di alam sana ada band juga?” candaku.
“Wah, menghina, neh!”
“Bukan, sekedar konfirmasi. Jangan ngambek gitu.”
“Kapan aku boleh menelepo lagi?” Mengubah topik.
“Kapan aja, terserah. Aku tunggu.”
“Sampai telepon!”
“Telepon berdering!”
Kami berpisah.
Hehehe.... Rupanya tadi itu makhlik halus. Tapi aku oke-oke saja. Dia asyik diayak ngobrol. Kalau memang ia jin, ini seru juga. Ditelepon jin. Hiii.... Aku haus, mau minim. Terus tidur. Lho, kok! Kalau dia sampai mau ketemu segala gimana, dong?! Eng-ing-eng....
*10 September 2001, 3 Maret 2008 (rewrite)
Baru saja tiba, setelah pergi. Telepon berdering-dering. Berdiri di depan pintu kamar. Biarkan saja. Sampai yang menelepon itu kelelahan. Tapi rupanya orang di seberang sana tak berhenti jua. Terus berusaha tanpa henti. Tetap saja aku biarkan telepon itu berdering. Terus berdering, biarkan saja. Aneh, tetap saja berdering.
Akhirnya, aku angkat saja telepon itu. Terdengar suara klik. Sialan! Eh, berdering lagi. Cuek. Aku buka pintu kamar. Aku kunci dan kunyalakan musik keras-keras. Iron Maiden, judu Number of The Beast. Lagu yang terinspirasi dari Bibel? Mungkin, Bruce Dickinson sang vokalis, saat mencipta lagu itu suka membuka-buka kitab itu. Ah, biar, itu bukan urusanku. Kring...!
Di langit kamarku aku lihat putih. Tidur-tiduran. Aku jadi teringat sebuah cerita masa kecil. Cerita tentang bidadari, yang kata orang: berwarna putih, punya sayap, sifatnya baik. Megingat itu, aku jadi tertawa geli. Entah manusia goblok mana yang mengarang kisah itu. Jangankan melihat bidadari, setan saja belum pernah lihat. Setan? Jangan sampailah aku melihatnya. Lebih baik bertemu bidadari yang, katanya, cantik jelita.
Lelah juga mengurung di kamar. Aku keluar kamar. Gila! Telepon terus berdering.
“Ya, halo?” Aku angkat saja.
“Halo juga, di sini siapa?” jawab di seberang sana.
Nah, kok tanya diri sendiri. Wah, ini pasti orang stres atau sekedar iseng. Sinting. Tapi tak apalah, mungkin dia perlu hiburan. Itung-itung amal.
“Di sana jin yang pernah buang anak. Kalau di sini bintang film layar lebar yang main di film Selalu Melirik ke Rumah Tetangga,” jawabku sekenanya.
“Kok, tahu kalau di sini jin?”
“Lha, orang di sini paranormal!”
“Tadi katanya bintang film.”
“Merangkap, gitu.”
“Oooo....”
Aku membayangkan mulut orang, eh jin, atau jenis makhluk apalah itu mulutnya bulat sedang ber-o. Semoga saja tak dimasuki lalat. Keselek.
“Situ benean jin apa jon?” heranku.
“Terserahlah, mau disebut apa. Jin boleh, jon oke. Apa jun-jan, mungkin jen. Bisa juga iblis.” Ngawur.
“Wah, kayak lagu Iron Maiden!” seruku.
“Number of The Beast.”
“Situ tahu. Sini lagi nyetel.”
“Lha wong itu lagu kebangsaan ngeband, kok!” jelas makhluk tak jelas itu.
“Di alam sana ada band juga?” candaku.
“Wah, menghina, neh!”
“Bukan, sekedar konfirmasi. Jangan ngambek gitu.”
“Kapan aku boleh menelepo lagi?” Mengubah topik.
“Kapan aja, terserah. Aku tunggu.”
“Sampai telepon!”
“Telepon berdering!”
Kami berpisah.
Hehehe.... Rupanya tadi itu makhlik halus. Tapi aku oke-oke saja. Dia asyik diayak ngobrol. Kalau memang ia jin, ini seru juga. Ditelepon jin. Hiii.... Aku haus, mau minim. Terus tidur. Lho, kok! Kalau dia sampai mau ketemu segala gimana, dong?! Eng-ing-eng....
*10 September 2001, 3 Maret 2008 (rewrite)
Komentar