Saat akan Membeli Tomat*
Bahar D. Dirgantara
Pagi-pagi sekali Sariyem sudah bangun. Keringat bacin. Dilihatnya langit masih gelap. Udara dingin. Jam masih tunjuk angka tiga, tiga puluh. Matanya terlihat sembab, kurang tidur.
Hari ini dia punya maksud untuk pergi ke Pasar Induk. Memenuhi pesanan langganannya yang meminta kiloan tomat segar untuk kawinan anaknya. Bagi Sariyem itu merupakan suatu hal yang jarang terjadi. Walaupun jika sering terjadi, ia juga sudah terbiasa. Bulan-bulan ini musimnya orang nikahan, yang mencoba membangun generasi baru yang lebih baik (kata orang).
Langkahnya pagi ini sangat ringan, tak seperti biasanya.
Dia melihat sekeliling kampungnya. Masih sepi, seperti biasanya. Senyap. Manusia-manusia masih terlelap di atas bantal nan empuk dan mimpi indah dengan tetesan liur yang buat bantal bau apek nan sengir.
Setelah setengah kilo berjalan, matanya memicing. Dilihatnya di ujung jalan kampung, massa berkerumun, riuh. Gaduh.
Sariyem mendekat. Setapak demi setapak. Dia kaget! Lemas. Tak berdaya. Ternyata yang ada di situ, yang dikerumuni orang itu; tergeletak bersimbah darah. Kaku tak bernyawa. Sariyem pingsan.
Jalan raya di depan, kendaraan was-wis-wus-wes-wos, jalan raya yang sepi.
Yang pasti, para tetangganya, kalau bisa disebut begitu, tak tahu Sariyem pingsan karena yang mati kaku itu berdarah-darah atau bau amisnya yang masih segar itu. Hingga Sariyem menyusul suaminya itu.
19 Oktober 2001, 3 Maret 2008 (rewrite)
* Untuk Perempuan-Perempuan Perkasa yang kehilangan Belahan Jiwa
Pagi-pagi sekali Sariyem sudah bangun. Keringat bacin. Dilihatnya langit masih gelap. Udara dingin. Jam masih tunjuk angka tiga, tiga puluh. Matanya terlihat sembab, kurang tidur.
Hari ini dia punya maksud untuk pergi ke Pasar Induk. Memenuhi pesanan langganannya yang meminta kiloan tomat segar untuk kawinan anaknya. Bagi Sariyem itu merupakan suatu hal yang jarang terjadi. Walaupun jika sering terjadi, ia juga sudah terbiasa. Bulan-bulan ini musimnya orang nikahan, yang mencoba membangun generasi baru yang lebih baik (kata orang).
Langkahnya pagi ini sangat ringan, tak seperti biasanya.
Dia melihat sekeliling kampungnya. Masih sepi, seperti biasanya. Senyap. Manusia-manusia masih terlelap di atas bantal nan empuk dan mimpi indah dengan tetesan liur yang buat bantal bau apek nan sengir.
Setelah setengah kilo berjalan, matanya memicing. Dilihatnya di ujung jalan kampung, massa berkerumun, riuh. Gaduh.
Sariyem mendekat. Setapak demi setapak. Dia kaget! Lemas. Tak berdaya. Ternyata yang ada di situ, yang dikerumuni orang itu; tergeletak bersimbah darah. Kaku tak bernyawa. Sariyem pingsan.
Jalan raya di depan, kendaraan was-wis-wus-wes-wos, jalan raya yang sepi.
Yang pasti, para tetangganya, kalau bisa disebut begitu, tak tahu Sariyem pingsan karena yang mati kaku itu berdarah-darah atau bau amisnya yang masih segar itu. Hingga Sariyem menyusul suaminya itu.
19 Oktober 2001, 3 Maret 2008 (rewrite)
* Untuk Perempuan-Perempuan Perkasa yang kehilangan Belahan Jiwa
Komentar