Makan Roti*
Bahar D. Dirgantara
Karso, anak pemulung itu baru saja pulang sekolah. Sekolah yang diselenggarakan untuk anak-anak tak mampu. Mukanya dekil. Mambu. Kerjanya setiap pagi menjajakan koran. Ibunya, jualan gado-gado. Bapaknya kuli pacul kalo ada galian.
Suatu ketika, sore nan cerah. Karso lagi enak-enaknya nyeruput es mambo, tiba-tiba dipegang tangannya oleh petugas kamtib. Karso, bingung, mencoba melawan, meronta. Apa daya tangan petugas itu terlalu kuat untuk anak seumur Karso yang sepuluh tahun.
Kenapa kok saya ditangkap, tanya Karso heran. Petugas itu hanya membisu. Karso pun dibawa ke tempat penampungan sekaligus pembinaan buat orang-orang jalanan.
Di tempat penampungan yang ada hanya anak-anak sebayanya. Sepuluh orang, termasuk Karso. Tambah buat bingung Karso: kenapa cuma sedikit, yang lain tadi dijaring mana. Tak mengerti, menggeleng-geleng kepala Karso.
Lama menunggu, perut punya Karso keroncongan. Anak-anak lain ada yang canda ria, tidur-tiduran, ada yang tidur beneran; ngiler, ngorok. Karso hanya lirak-lirik. Anak yang diliriknya memainkan alis membalas lirikan Karso. Mereka nggak punya beban, pikir Karso.
Beberapa saat kemudian, Karso dipanggil petugas yang tadi membawanya. Ia dikasih bungkusan dan disuruh segera pulang dengan menumpang motor petugas yang mau keluar dari tempat penampungan.
Sesampainya di rumah. Dibukanya bungkusan yang tadi diberi oleh petugas. Isinya roti tawar. Kepalang girangnya Karso melihat makanan itu. Berteriak-teriak memanggil ibu-bapaknya. Disantapnya roti itu bareng-bareng.
Habis, ludes. Mereka sadar. Bapaknya tanya-tanya, kamu ditangkap, terus apa maksudnya. Karso hanya bisa menggeleng tak tahu jawabnya. Ibunya juga bingung. Ketiganya melompong. Warek.
19 Oktober 2001, 3 Maret 2008 (rewrite)
* Demi Manusia-Manusia Kolong yang terjajah
Karso, anak pemulung itu baru saja pulang sekolah. Sekolah yang diselenggarakan untuk anak-anak tak mampu. Mukanya dekil. Mambu. Kerjanya setiap pagi menjajakan koran. Ibunya, jualan gado-gado. Bapaknya kuli pacul kalo ada galian.
Suatu ketika, sore nan cerah. Karso lagi enak-enaknya nyeruput es mambo, tiba-tiba dipegang tangannya oleh petugas kamtib. Karso, bingung, mencoba melawan, meronta. Apa daya tangan petugas itu terlalu kuat untuk anak seumur Karso yang sepuluh tahun.
Kenapa kok saya ditangkap, tanya Karso heran. Petugas itu hanya membisu. Karso pun dibawa ke tempat penampungan sekaligus pembinaan buat orang-orang jalanan.
Di tempat penampungan yang ada hanya anak-anak sebayanya. Sepuluh orang, termasuk Karso. Tambah buat bingung Karso: kenapa cuma sedikit, yang lain tadi dijaring mana. Tak mengerti, menggeleng-geleng kepala Karso.
Lama menunggu, perut punya Karso keroncongan. Anak-anak lain ada yang canda ria, tidur-tiduran, ada yang tidur beneran; ngiler, ngorok. Karso hanya lirak-lirik. Anak yang diliriknya memainkan alis membalas lirikan Karso. Mereka nggak punya beban, pikir Karso.
Beberapa saat kemudian, Karso dipanggil petugas yang tadi membawanya. Ia dikasih bungkusan dan disuruh segera pulang dengan menumpang motor petugas yang mau keluar dari tempat penampungan.
Sesampainya di rumah. Dibukanya bungkusan yang tadi diberi oleh petugas. Isinya roti tawar. Kepalang girangnya Karso melihat makanan itu. Berteriak-teriak memanggil ibu-bapaknya. Disantapnya roti itu bareng-bareng.
Habis, ludes. Mereka sadar. Bapaknya tanya-tanya, kamu ditangkap, terus apa maksudnya. Karso hanya bisa menggeleng tak tahu jawabnya. Ibunya juga bingung. Ketiganya melompong. Warek.
19 Oktober 2001, 3 Maret 2008 (rewrite)
* Demi Manusia-Manusia Kolong yang terjajah
Komentar