‘Anjing Kumuh’ yang Kaya Mendadak
Bahar D. Dirgantara*
Slumdog Milionaire baru saja meraih empat gelar di Gloden Globe, terutama Best Picture for Drama/Musical. Film ini mengisahkan tiga orang bocah Muslim di tengah konflik Hindu dan Muslim. Masa kanak-akan mereka sebagai latar dari kehidupan mereka sekarang.
Hidup di tengah lingkungan yang tak mengenal belas kasihan, apa pun dilakukan untuk bertahan hidup. Salim yang mengawali kehidupan keras ketika mereka bertiga masuk lingkaran sindikat pengemis India, hingga Salim remaja membunuh bos sindikat saat ia bertemu kembali dengannya (setelah ia dan Jamal kabur dari tempat penampungan) ketika memenuhi keinginan adiknya Jamal untuk mencari Latikha.
Jamal, lelaki polos yang menganggap hidup haruslah putih. Setelah melalui berbagai persoalan dari menjadi guide di Taj Mahal sekaligus juru foto,—sedang Salim menjadi penadah sepatu/sandal pengunjung Taj Mahal dan barang-barang curian—Jamal akhirnya menjadi peserta kuis berhadiah total 20 juta rupee setelah ia menjadi OB di manajemen kuis itu.
Untuk putaran pertama ia menang 10 juta rupee. Di sinilah pembukaan film. Ia diinterogasi polisi karena dituduh curang saat menjawab kuis. Ditangkap dengan cara diculik saat selesai dalam kuis putaran pertama. Dia diinterogasi dan disiksa pukulan dan setrum dengan menggantung tubuhnya dengan tangan terikat di atas. Padahal jawaban atas kuis yang dia ikuti berdasarkan kejadian-kejadian selama hidupnya, yang bagi sebagian orang sepele. Namun beruntung bagi Jamal, ia mampu mengingat semua peristiwa itu di saat yang tepat.
Film ini seperti coba mengambarkan bahwa dunia ini begitu complicated. Danny Boyle sebagai sutradara secara cerdas memilih India sebagai gambaran dunia yang pas. India sebagai salah satu negara terus berkembang, tapi juga sekaligus memiliki masyarakat yang kumuh (slum). Televisi yang menjual mimpi melalui kuisnya digemari massa. Namun ada juga kisah budi pekerti manusia yang pantang menyerah untuk selalu hidup lurus dan akhirnya menuai hasil.
Empat gelar sepertinya tidak cukup film ini, lima bila ditambah dengan penghargaan People’s Choice di Toronto International Film Festival. Catatan tersendiri bagi film India yang khas dengan tarian dan tabuhan gendang sepertinya tidak hilang di film ini. Tarian yang muncul di akhir film sebagai closing nampaknya menunjukkan ruh sinema Bollywood walaupun major label-nya Hollywood.
* Penulis adalah penikmat film alternatif dan festival, juga anggota Forum Kajian Radio Televisi dan Film, tinggal di Depok.
Slumdog Milionaire baru saja meraih empat gelar di Gloden Globe, terutama Best Picture for Drama/Musical. Film ini mengisahkan tiga orang bocah Muslim di tengah konflik Hindu dan Muslim. Masa kanak-akan mereka sebagai latar dari kehidupan mereka sekarang.
Hidup di tengah lingkungan yang tak mengenal belas kasihan, apa pun dilakukan untuk bertahan hidup. Salim yang mengawali kehidupan keras ketika mereka bertiga masuk lingkaran sindikat pengemis India, hingga Salim remaja membunuh bos sindikat saat ia bertemu kembali dengannya (setelah ia dan Jamal kabur dari tempat penampungan) ketika memenuhi keinginan adiknya Jamal untuk mencari Latikha.
Jamal, lelaki polos yang menganggap hidup haruslah putih. Setelah melalui berbagai persoalan dari menjadi guide di Taj Mahal sekaligus juru foto,—sedang Salim menjadi penadah sepatu/sandal pengunjung Taj Mahal dan barang-barang curian—Jamal akhirnya menjadi peserta kuis berhadiah total 20 juta rupee setelah ia menjadi OB di manajemen kuis itu.
Untuk putaran pertama ia menang 10 juta rupee. Di sinilah pembukaan film. Ia diinterogasi polisi karena dituduh curang saat menjawab kuis. Ditangkap dengan cara diculik saat selesai dalam kuis putaran pertama. Dia diinterogasi dan disiksa pukulan dan setrum dengan menggantung tubuhnya dengan tangan terikat di atas. Padahal jawaban atas kuis yang dia ikuti berdasarkan kejadian-kejadian selama hidupnya, yang bagi sebagian orang sepele. Namun beruntung bagi Jamal, ia mampu mengingat semua peristiwa itu di saat yang tepat.
Film ini seperti coba mengambarkan bahwa dunia ini begitu complicated. Danny Boyle sebagai sutradara secara cerdas memilih India sebagai gambaran dunia yang pas. India sebagai salah satu negara terus berkembang, tapi juga sekaligus memiliki masyarakat yang kumuh (slum). Televisi yang menjual mimpi melalui kuisnya digemari massa. Namun ada juga kisah budi pekerti manusia yang pantang menyerah untuk selalu hidup lurus dan akhirnya menuai hasil.
Empat gelar sepertinya tidak cukup film ini, lima bila ditambah dengan penghargaan People’s Choice di Toronto International Film Festival. Catatan tersendiri bagi film India yang khas dengan tarian dan tabuhan gendang sepertinya tidak hilang di film ini. Tarian yang muncul di akhir film sebagai closing nampaknya menunjukkan ruh sinema Bollywood walaupun major label-nya Hollywood.
* Penulis adalah penikmat film alternatif dan festival, juga anggota Forum Kajian Radio Televisi dan Film, tinggal di Depok.
Komentar
Pendidikan bermutu harus dikejar dan diperjuangkan, bukan dimudahkan (gratis).
inspiratif tuh film dan layak jadi pemenang. cool...
*izar*