Kritik atau Penghinaan
Bahar D. Dirgantara
Hidup di masa kini, kejadian dan tragedi sepertinya selalu berulang dan terulang. Di tengah dengung Reformasi yang saat ini hanya terdengar sebagai denyut membuat kita menjadi panas. Terkadang mempertanyakan esensi dari perubahan yang terjadi pada 1998 itu. Bahkan ada yang merasakan sebenarnya bukanlah perubahan yang terjadi, melainkan kemunduran.
Memang, kita akui bahwa kondisi bangsa (baca: bukan negara, melainkan rakyatnya) lebih terbuka sehingga mereka bebas berekspresi dan melepas kepenatan dengan kreasi mereka. Kita selalu terus mencari lahan untuk giat kreatif kita, termasuk saat mengkritisi untuk suatu hal yang (sangat) mengganggu kehidupan kita sebagai bangsa. Lewat sablon di baju, mural dinding di berbagai tempat, poster-poster, dan berbagai media lainnya.
Kritik seharusnya sebagai sesuatu yang biasa di tengah era yang seharusnya mendukung kebebasan berpendapat. Tapi ketika kritik dianggap sebagai penghinaan, ini yang membingungkan. Yang merasa dihina mengatakan itu bukan kritik. Yang berseru kritis, berasumsi ini sebagai sentilan kepada mereka yang merasa dihina atas kinerja mereka yang dibayar oleh keringat anak bangsa.
Kalau begitu, siapa yang benar? Karena setiap kubu mempunyai pendapatnya masing-masing. Ini seharusnya yang dijadikan modal dalam era bebas berekspresi. Yang merasa dihina, walaupun maksudnya dikritisi, ya jangan terlalu sensitif-lah. Sedangkan para pengkritisi, ya memang sudah seharusnya berpendapat seperti itu. Apalagi jika melihat kondisi yang stagnansi, mampet.
Kita tak perlu menyebutkan satu-satu contoh kasus “kritis dianggap menghina” ini. Terpenting dari semua itu adalah bagaimana yang merasa dihina menjadi terus bersemangat saat menerima kritikan bahwa hal tersebut adalah untuk memotivasi menjadi lebih baik, dan tidak lagi menganggap kritikan sebagai sebuah penghinaan. Pengkritisi juga jangan pernah kenal lelah, sebab tanpa kritik, bagaimana mungkin kita sebagai bangsa bakal terus bergerak maju. Sekian.
Hidup di masa kini, kejadian dan tragedi sepertinya selalu berulang dan terulang. Di tengah dengung Reformasi yang saat ini hanya terdengar sebagai denyut membuat kita menjadi panas. Terkadang mempertanyakan esensi dari perubahan yang terjadi pada 1998 itu. Bahkan ada yang merasakan sebenarnya bukanlah perubahan yang terjadi, melainkan kemunduran.
Memang, kita akui bahwa kondisi bangsa (baca: bukan negara, melainkan rakyatnya) lebih terbuka sehingga mereka bebas berekspresi dan melepas kepenatan dengan kreasi mereka. Kita selalu terus mencari lahan untuk giat kreatif kita, termasuk saat mengkritisi untuk suatu hal yang (sangat) mengganggu kehidupan kita sebagai bangsa. Lewat sablon di baju, mural dinding di berbagai tempat, poster-poster, dan berbagai media lainnya.
Kritik seharusnya sebagai sesuatu yang biasa di tengah era yang seharusnya mendukung kebebasan berpendapat. Tapi ketika kritik dianggap sebagai penghinaan, ini yang membingungkan. Yang merasa dihina mengatakan itu bukan kritik. Yang berseru kritis, berasumsi ini sebagai sentilan kepada mereka yang merasa dihina atas kinerja mereka yang dibayar oleh keringat anak bangsa.
Kalau begitu, siapa yang benar? Karena setiap kubu mempunyai pendapatnya masing-masing. Ini seharusnya yang dijadikan modal dalam era bebas berekspresi. Yang merasa dihina, walaupun maksudnya dikritisi, ya jangan terlalu sensitif-lah. Sedangkan para pengkritisi, ya memang sudah seharusnya berpendapat seperti itu. Apalagi jika melihat kondisi yang stagnansi, mampet.
Kita tak perlu menyebutkan satu-satu contoh kasus “kritis dianggap menghina” ini. Terpenting dari semua itu adalah bagaimana yang merasa dihina menjadi terus bersemangat saat menerima kritikan bahwa hal tersebut adalah untuk memotivasi menjadi lebih baik, dan tidak lagi menganggap kritikan sebagai sebuah penghinaan. Pengkritisi juga jangan pernah kenal lelah, sebab tanpa kritik, bagaimana mungkin kita sebagai bangsa bakal terus bergerak maju. Sekian.
Komentar