Menulis "Menulis 4...: Fiksi, Kreasi, Friksi dan Dimensi"
Bahar D. Dirgantara
Haus telah. Mimpi sudah. Jelatang pun sudah kudepak hingga terjengkang tak berani kembali. Dahagaku untuk selalu menulis, tak bisa dihentikan hingga kering air di dalam tanah. Walau udara berhenti berhembus. Aku tetap menggoreskan pena. Menekan tuts-tuts keyboard tiada henti. Cukup aku katakan satu alinea ini. Aku ingin melahirkan, menzahirkan isi kepalaku dengan "Menulis 4....: Fiksi, Kreasi, Friksi dan Dimensi". Kini aku tidak bisa dihentikan. Aku ingin mengapung ke permukaan. Ingin berceloteh kembali dengan penuh kesadaran. Berikut sketsa awalannya:
Dia terbangun dari pembaringannya. Riyap-riyap rambutnya menutupi wajahnya, acak-acakan. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya, melihat sekeliling kamarnya, lalu pandangannya terpaku di antara segelas air putih dan foto kecil di meja. Matanya kelihatan kuyu.
“Huh!” desahnya saat menghembuskan nafas. Ia menyingkap selimutnya. Beranjak dari tempat tidur. Perlahan menuju ke jendela. Bergerak lambat ia membuka jendela, lamat-lamat sinar mentari mulai memasuki ruangan. Wajahnya tersapu angin pagi, rambutnya berkibar. Matanya terpejam, menikmati udara pagi, tapi tidak dengan hatinya.
Tiba-tiba.
“SHIT!” umpatnya. “Kenapa pikiran itu datang lagi? Ugh!”
Dia mengambil ponselnya. Melihat apakah ada kabar yang dia tunggu dari semalam. “Sampah semua! Dia belum bales BBM gue. Damn!”
“GILA apa lo?! Orang kek gitu masih elo pertahanin. Posesif akut dia, gede ambeg pula orangnya.” Teringat selalu kata sahabatnya itu di kepalanya. Dia hanya tersenyum saat teringat masa-masa kekangan itu. “Siapa dia?!” begitu pikirnya. “Kejar karir dulu mumpung masih muda,” nasihat mentornya.
Dengan tenang ia menikmati hidangan pedas di meja kerjanya. Sesekali melihat lampu kecil yang berkedip-kedip di telepon. “Nggak tau ini jam istirahat apa? Dasar bodoh.”
Hari ini ia harus merangkum data klien sebanyak 50 lembar, yang isinya nomor telepon semua. Menghubungi mereka satu per satu, sungguh menjemukan. “Halo, selamat siang. Saya….” Kalimat yang selalu ia ulang hingga terpatri di otaknya.
RAPUH. Gadis ini begitu terhimpit. Tiada satu pun orang yang mengerti dirinya, keinginannya. Saat malam sering dirinya termangu dengan temaram lampu kamarnya, terisak. Ia mendambakan hidup yang indah dan penuh kebahagiaan.
Profilnya terkadang membuat kita tertipu. “Elo, tuh ya jadi orang jail banget,” katanya kepada temannya. “Yeeee, apaan sih. Kek nggak ada kerjaan aja bikin gue mikir yang berat-berat gini.” Atau yang ini: “Gila! Sumpah, keren banget!” serunya dengan mata berbinar-binar.
Dan dengan cepat suasana hatinya berubah kala: “Percuma elo pake topeng. Lo nggak bisa boong sama gue.” Mendengar ucapan sahabatnya itu, seketika pula tangisnya makin menjadi.
PERUBAHAN sering membuat orang mendeskripsikan ulang mengenai hidup yang ideal dalam pikirannya. Kejadian membuat kita sering berubah pikiran, menata dan menyusun ulang apa yang seharusnya menjadi tujuan hidup.
“Aku kini fokus kepada keluargaku: Ibuku, adik-adikku. Lebih baik aku nggak kuliah daripada adikku nggak kuliah,” ceritanya suatu kali.
Saat sahabatnya berkumpul, ia orang yang hampir selalu tidak bisa hadir. “Kalo aku bolos, aku dan keluargaku bisa-bisa besok nggak makan,” ungkapnya.
Haus telah. Mimpi sudah. Jelatang pun sudah kudepak hingga terjengkang tak berani kembali. Dahagaku untuk selalu menulis, tak bisa dihentikan hingga kering air di dalam tanah. Walau udara berhenti berhembus. Aku tetap menggoreskan pena. Menekan tuts-tuts keyboard tiada henti. Cukup aku katakan satu alinea ini. Aku ingin melahirkan, menzahirkan isi kepalaku dengan "Menulis 4....: Fiksi, Kreasi, Friksi dan Dimensi". Kini aku tidak bisa dihentikan. Aku ingin mengapung ke permukaan. Ingin berceloteh kembali dengan penuh kesadaran. Berikut sketsa awalannya:
Dia terbangun dari pembaringannya. Riyap-riyap rambutnya menutupi wajahnya, acak-acakan. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya, melihat sekeliling kamarnya, lalu pandangannya terpaku di antara segelas air putih dan foto kecil di meja. Matanya kelihatan kuyu.
“Huh!” desahnya saat menghembuskan nafas. Ia menyingkap selimutnya. Beranjak dari tempat tidur. Perlahan menuju ke jendela. Bergerak lambat ia membuka jendela, lamat-lamat sinar mentari mulai memasuki ruangan. Wajahnya tersapu angin pagi, rambutnya berkibar. Matanya terpejam, menikmati udara pagi, tapi tidak dengan hatinya.
Tiba-tiba.
“SHIT!” umpatnya. “Kenapa pikiran itu datang lagi? Ugh!”
Dia mengambil ponselnya. Melihat apakah ada kabar yang dia tunggu dari semalam. “Sampah semua! Dia belum bales BBM gue. Damn!”
“GILA apa lo?! Orang kek gitu masih elo pertahanin. Posesif akut dia, gede ambeg pula orangnya.” Teringat selalu kata sahabatnya itu di kepalanya. Dia hanya tersenyum saat teringat masa-masa kekangan itu. “Siapa dia?!” begitu pikirnya. “Kejar karir dulu mumpung masih muda,” nasihat mentornya.
Dengan tenang ia menikmati hidangan pedas di meja kerjanya. Sesekali melihat lampu kecil yang berkedip-kedip di telepon. “Nggak tau ini jam istirahat apa? Dasar bodoh.”
Hari ini ia harus merangkum data klien sebanyak 50 lembar, yang isinya nomor telepon semua. Menghubungi mereka satu per satu, sungguh menjemukan. “Halo, selamat siang. Saya….” Kalimat yang selalu ia ulang hingga terpatri di otaknya.
RAPUH. Gadis ini begitu terhimpit. Tiada satu pun orang yang mengerti dirinya, keinginannya. Saat malam sering dirinya termangu dengan temaram lampu kamarnya, terisak. Ia mendambakan hidup yang indah dan penuh kebahagiaan.
Profilnya terkadang membuat kita tertipu. “Elo, tuh ya jadi orang jail banget,” katanya kepada temannya. “Yeeee, apaan sih. Kek nggak ada kerjaan aja bikin gue mikir yang berat-berat gini.” Atau yang ini: “Gila! Sumpah, keren banget!” serunya dengan mata berbinar-binar.
Dan dengan cepat suasana hatinya berubah kala: “Percuma elo pake topeng. Lo nggak bisa boong sama gue.” Mendengar ucapan sahabatnya itu, seketika pula tangisnya makin menjadi.
PERUBAHAN sering membuat orang mendeskripsikan ulang mengenai hidup yang ideal dalam pikirannya. Kejadian membuat kita sering berubah pikiran, menata dan menyusun ulang apa yang seharusnya menjadi tujuan hidup.
“Aku kini fokus kepada keluargaku: Ibuku, adik-adikku. Lebih baik aku nggak kuliah daripada adikku nggak kuliah,” ceritanya suatu kali.
Saat sahabatnya berkumpul, ia orang yang hampir selalu tidak bisa hadir. “Kalo aku bolos, aku dan keluargaku bisa-bisa besok nggak makan,” ungkapnya.
Komentar