Sebuah Koma
Bahar D. Dirgantara
Mentari menjadi begitu redup di hari itu, seperti lelah menyapa senyuman tiap manusia. Awan yang berarak, putih. Angin menampar setiap dedaunan tanpa pernah mau berhenti sejenak. Aku berdiri di depan pintu mengamati sekeliling, mesin-mesin bergemuruh, gerakan melambat manusia-manusia memburu agar tiap detik tidak hilang percuma. Hari itu, energiku terkelupas, jatuh satu per satu menjadi debu.
Pagi itu, aku terbangun dalam keadan teramat dingin. Beku. Kutipan-kutipan perlu aku tulis kembali untuk menghangatkan suasana. Kutulis untuk jiwa yang sedang mengambang-mengangkasa.
Seketika itu, partikel-partikelku mulai kususun, untuk menjadi sebuah sketsa yang tepat, yang belum aku tahu seperti apa sketsa itu nantinya. KepadaNya aku bermunajat.
Saat surya di atas ubun-ubun, namun tidak nampak untuk kesekian kalinya. Tubuhku kian meradang. Kian beku bagaikan es. Kuhangatkan diri dengan secangkir kopi hangat, tak jua hilang gigil itu. Kupejamkan mata sesaat, sejenak seperti biasa. Kuhela dada ini untuk diisi udara, kujernihkan kepala dan suaraku ini. Kulalui setiap tahapan itu dengan kesabaran dan keikhlasan, karena keduanya adalah energiku yang selalu tersisa dalam diri ini.
Senja yang merayap memberikanku keteduhan, mulai mencairkan segenap titik di jiwa ini.
Saat pekat malam. Dalam sebuah perjalanan. Guyuran air begitu menyejukkan, kilatan halilintar memacu hidupku. Sungguh aku terheran, es itu malah mulai mencair. Aku diberikan tanda olehNYA. Aku dibuatkan sketsa. Seketika itu jatungku berdegup cepat, napasku tersengal, tubuh ini menggigil.
Aku atur napasku, saat aku tiba usai perjalanan ini. Aku meneguk secangkir teh hangat dengan penuh syukur. Rintikan hujan menemani ketermenunganku.
Sketsa. Apakah itu sebuah tanda? Sketsa yang muncul kembali di siang ini dalam lelap sejenakku.
Jakarta-Depok, 25-26052011
Mentari menjadi begitu redup di hari itu, seperti lelah menyapa senyuman tiap manusia. Awan yang berarak, putih. Angin menampar setiap dedaunan tanpa pernah mau berhenti sejenak. Aku berdiri di depan pintu mengamati sekeliling, mesin-mesin bergemuruh, gerakan melambat manusia-manusia memburu agar tiap detik tidak hilang percuma. Hari itu, energiku terkelupas, jatuh satu per satu menjadi debu.
Pagi itu, aku terbangun dalam keadan teramat dingin. Beku. Kutipan-kutipan perlu aku tulis kembali untuk menghangatkan suasana. Kutulis untuk jiwa yang sedang mengambang-mengangkasa.
Seketika itu, partikel-partikelku mulai kususun, untuk menjadi sebuah sketsa yang tepat, yang belum aku tahu seperti apa sketsa itu nantinya. KepadaNya aku bermunajat.
Saat surya di atas ubun-ubun, namun tidak nampak untuk kesekian kalinya. Tubuhku kian meradang. Kian beku bagaikan es. Kuhangatkan diri dengan secangkir kopi hangat, tak jua hilang gigil itu. Kupejamkan mata sesaat, sejenak seperti biasa. Kuhela dada ini untuk diisi udara, kujernihkan kepala dan suaraku ini. Kulalui setiap tahapan itu dengan kesabaran dan keikhlasan, karena keduanya adalah energiku yang selalu tersisa dalam diri ini.
Senja yang merayap memberikanku keteduhan, mulai mencairkan segenap titik di jiwa ini.
Saat pekat malam. Dalam sebuah perjalanan. Guyuran air begitu menyejukkan, kilatan halilintar memacu hidupku. Sungguh aku terheran, es itu malah mulai mencair. Aku diberikan tanda olehNYA. Aku dibuatkan sketsa. Seketika itu jatungku berdegup cepat, napasku tersengal, tubuh ini menggigil.
Aku atur napasku, saat aku tiba usai perjalanan ini. Aku meneguk secangkir teh hangat dengan penuh syukur. Rintikan hujan menemani ketermenunganku.
Sketsa. Apakah itu sebuah tanda? Sketsa yang muncul kembali di siang ini dalam lelap sejenakku.
Jakarta-Depok, 25-26052011
Komentar